Belajar Melindungi Anak dari Jerat Ekstremisme Kekerasan Melalui Film dan Budaya

Literasidesatumbuh.id (Sleman) – Selama tiga hari, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Klaten dan UNICEF mengikuti serangkaian kegiatan di Yayasan Literasi Desa Tumbuh, Yogyakarta. Kegiatan ini diawali dengan Nonton Bareng (Nobar) film tentang perjalanan anak muda Indonesia ke Suriah, berdiksusi, hingga belajar memainkan angklung bersama anak-anak.

Pendiri Yayasan Literasi Desa Tumbuh Yogyakarta, Noor Huda Ismail mengatakan, semua kegiatan tersebut merupakan bagian dari upaya untuk memperkuat perlindungan anak dari jerat semua menjadi bagian dari upaya memperkuat perlindungan anak dari jerat ekstremisme kekerasan, seperti terorisme.

“Kita harus memahami isu-isu global yang terhubung dengan isu lokal hingga kemudian memicu munculnya isu ekstremisme kekerasan. Pemahaman ini penting untuk menyesuaikan hal-hal yang sesuai untuk pencegahan di level praktis,” kata Huda ditemui di lokasi.

Menurutnya, kegiatan bertema “Penguatan Sistem Perlindungan Anak untuk Reintegrasi dan Rehabilitasi Anak dalam Jaringan Terorisme” ini menjadi ruang belajar lintas sektor untuk memahami serta merespons isu yang kompleks tersebut.


Noor Huda juga berharap, kegiatan yang digelar pada tanggal 5 – 7 Agustus tersebut bisa menjadi titik awal kolaborasi berkelanjutan dalam membangun sistem perlindungan anak yang inklusif, adaptif, dan berperspektif damai.

Di hari pertama, para peserta juga nobar film “Road to Resilience” karya Kreasi Prasasti Perdamaian yang mengisahkan perjalanan anak muda Indonesia ke Suriah. Tayangan tersebut memantik refleksi mendalam.

Febri sebagai narasumber utama dalam film ini turut membagikan kisah ketika dirinya pergi ke Suriah bukan untuk berjihad, melainkan dipicu kerinduan pada ibunya. Pengakuan itu pun memberi sudut pandang baru bagi salah satu pengurus LPA Klaten, Hidayatus Sholihah.

“Saya dulu membayangkan mereka selalu berjenggot, berjidat hitam, dan bergamis. Tapi, setelah melihat mas Febri, ternyata sangat berbeda. Motif keberangkatannya pun sangat beragam,” ungkapnya.

Hari kedua, para peserta saling berbagi pengalaman dalam membangun narasai damai di media secara daring maupun luring yang digawangi oleh tim LDT dan Kreasi Prasasti Perdamaian. Pendekatan kolaborasi antar pemangku kepentingan (pentahelix) turut menjadi sorotan.

Bagi Naning Julianingsih dari Child Protection Specialist UNICEF, kegiatan seperti ini menjadi contoh ideal dalam menciptakan ruang bersama dan menarasikan isu sensitif secara lebih humanis sehingga bisa diterima masyarakat.

Selanjutnya, para peserta berkesempatan menikmati pementasan tari dan musik angklung dari anak-anak dampingan komunitas, dalam kelompok Aksara Tari dan Gema Literasi. Bahkan, mereka ikut belajar memainkan angklung dan merasakan langsung potensi budaya sebagai bagian dari upaya reintegrasi anak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *